BIOGRAFI WS RENDRA
Willibrordus
Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang
kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater
di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak
masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra
Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah
mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama
untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga
piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil
sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan
puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu,
puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu,
seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus
berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya,
terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama
pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan”
adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu
ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk
berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989),
berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak
termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45,
Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia
mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya
Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti
festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International
Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New
Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York
Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry
Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo
Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak
penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian
Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra
Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970);
Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award
(1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada
usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari
wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak:
Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara
Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat,
putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan
spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra
kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya,
ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito
menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito
tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang
dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi
seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang
pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon
drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi
Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa
itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk
Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan
bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama
sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum
pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena
Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan
individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa
memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya
dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih
dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua
istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar
popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu
seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra
berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu,
julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia
mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel
Saraswati. Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan
mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa
dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama
sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti
tak lama kemudian.
BIOGRAFI SOEHARTO
Soeharto
adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta,
tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga
sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama
Sukirah.
Soeharto
masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes,
lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul.
Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan
di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri
tani.
Sampai
akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa
Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai
Mangkunegaran.
Perkawinan
Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di
Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai
enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang
Adiningsih.
Jenderal
Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer
dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan
tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan
komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun
1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari
tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima
Besar Sudirman. Selain itu
juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1
Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat
Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban
serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena
situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan
selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa
warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Residen RI
Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal
Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan
Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari
(sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Jakarta.
Berita
wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol.
Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter
Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul
13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
BIOGRAFI R.A Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda. Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya. Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukanjodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928. Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
BIOGRAFI Gesang
Penyanyi
dan pencipta lagu, Gesang Martohartono (1917-2010), dikenal sebagai
maestro musik keroncong Indonesia. Gesang terkenal lewat lagu
ciptaannya, Bengawan Solo, disamping Gesang pula yang memopulerkan nama
Bengawan Solo hingga kepopulerannya mengalir sampai jauh hingga
mancanegara. Lagu dengan irama keroncong ini memang sangat populer, dan
telah diterjemahkan dan dinyanyikan dalam bahasa-bahasa asing. Di Jepang
bahkan pernah dijadikan soundtrack sebuah film layar lebar. Jepang juga
yang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo pada tahun 1983
Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik
keroncong.
Bengawan Solo diciptakan pada tahun 1940, saat Gesang duduk di tepian sungai Bengawan Solo. Terinspirasi oleh sungai tersebut Ia kemudian menulis syair di secarik kertas pembungkus rokok yang 6 bulan kemudian lagu tersebut dijuduli Bengawan Solo. Setahun setelah menciptakan lagu Bengawan Solo Ia menikah dengan seorang wanita bernama Waliyah. Namun di tahun 1963 pasangan ini kemudian bercerai setelah berumahtangga selama 22 tahun. Ia tak dikaruniai anak dan memilih untuk hidup sendiri semenjak percereaiannya tersebut. Gesang lahir di Surakarta pada 1 Oktober 1917 dari pasangan pengusaha batik Martodiharjo dari perkawinan istri keduanya. Ia mengawali karirnya sebagai seorang penyanyi lagu-lagu keroncong untuk acara dan pesta kecil-kecilan di kota Solo. Pada masa itupun Ia sudah menciptakan lagu seperti; Keroncong Roda Dunia, Keroncong si Piatu, dan Sapu Tangan. Kehidupan Gesang tidak berubah meski Bengawan Solo populer dimana-mana. Ia tetap lugu dan sederhana, dan tidak mempedulikan royalti atas lagu-lagunya. PT Penerbit Karya Musik Pertiwi (PMP) yang kemudian berjuang mengumpulkan royalti dari karya Gesang di seluruh dunia sejak 1996. Agar karya Gesang tetap abadi, PT PMP menerbitkan buku berisi 44 partitur serta syair-syair lagu. Saat ini, lagu-lagu yang diciptakan Gesang diakui sebagai aset nasional. Menjelang akhir hayatnya Gesang tinggal bersama saudaranya, Toyibi di kampung Kemplayan. Sedangkan rumah sebelumnya di Perumnas Palur yang merupakan hadiah almarhum Soepardjo Roestam saat menjabat gubernur Jawa Tengah, ditempati keponakannya. Gesang menikmati hari-hari masa tua dengan bercengkerama bersama sejumlah burung kacer merah kesayangannya. Ia sesekali masih berusaha berjalan di sekitar rumah, menikmati alam pedesaan walaupun harus dilakukan dengan susah payah dan tertatih-tatih. Gesang meninggal dunia pada 20 mei 2010 dalam usia 92 tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah setelah di rawat selama sembilan hari. Semenjak masuk rumah sakit kondisi kesehatannya memang terus menurun. Bahkan pada 18 Mei di sebuah media sempat tersiar kabar sudah meninggal dunia.
Lagu-lagu Ciptaan Gesang:
- Bengawan Solo
- Jembatan Merah
- Pamitan (versi bahasa Indonesia dipopulerkan oleh Broery Pesulima)
- Caping Gunung
- Ali-ali
- Andheng-andheng
- Luntur
- Dongengan
- Saputangan
- Dunia Berdamai
- Si Piatu
- Nusul
- Nawala
- Roda Dunia
- Tembok Besar
- Seto Ohashi
- Pandanwangi
- Impenku
- Kalung Mutiara
- Pemuda Dewasa
- Borobudur
- Tirtonadi
- Sandhang Pangan
- Kacu-kacu
BIOGRAFI BJ Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia
yang biasa dipanggil B.J. Habibie ;lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan,
pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan
bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini
Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada
tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan
Thareq Kemal.Masa kecil Habibie
dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak
kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus
kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena
terkena serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie
pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School.
Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam
pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia
di Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari
Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar
Doktor dari tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962,
dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan
(Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar